Quantcast
Channel: Kerjaan – miund.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Tentang Didengarkan

$
0
0

Saat pertama kali bekerja di tahun 2001, saya menganggap kerja itu nggak jauh beda sama kuliah.  Datang pagi, kerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan, penuhi deadline dan pulang.

Tiga tahun setelahnya, saya pindah kantor dan bertemu dengan orang-orang yang mulai percaya akan judgment saya, dan jujur aja rasanya jauh dari bangga.  Yang ada malah bingung, stress, takut salah saat mengambil keputusan dan rungsing sendiri mikirin hal-hal yang sebenarnya nggak perlu dipikirkan terlalu dalam.  Ada satu kalimat yang dulu selalu saya benci dari bos saya saat itu.

“So, are you happy with it?”

Maksudnya, udah puas belum dengan karya saya saat itu?  Kalau sudah, yuk dijalani.  Kalau belum, monggo disempurnakan dulu dan setelah itu, yuk dijalani.

Kenapa saya benci pertanyaan itu?  Karena itu kayak membebani saya dengan keputusan yang bisa bikin saya kelihatan 1) tolol kalo saya jawab ‘yes’ padahal kenyataannya masih jauh dari sempurna, 2) tolol kalo saya jawab ‘no’ padahal kenyataannya udah perfect tapi saya ragu makanya cari aman.  Nggak ada pilihan yang enak, dan saya selalu curiga apakah pertanyaan ini sebuah jebakan yang sengaja dibuat bos saya demi mencari-cari kesalahan anak buahnya ini.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk pada akhirnya saya sadar bahwa saat bos bertanya “So, are you happy with it?” itu beliau sedang memang meletakkan kepercayaannya kepada saya, pertanyaan ini bukan jebakan dan beliau memang sedang membutuhkan expertise atau keahlian saya dalam membuat sesuatu dan memutuskan apakah yang saya buat itu sudah selesai dengan sempurna menurut standar saya.

Saat itu saya selalu merasa lebih muda, junior, hijau dan tak tahu apa-apa sehingga takut dan malu berpendapat bahkan membela karya saya sendiri.  Padahal waktu kuliah, saya harus membela karya saya hampir setiap hari di studio Desain Interior.  Saya sudah dilatih untuk cekatan menjawab, menghindar, merunduk dari ‘serangan’ para dosen yang ingin menguji pengetahuan saya demi mempertahankan argumen yang saya buat dalam bentuk gambar dan maket.

Tapi kok di tempat kerja mbleret?

Baru sekarang bisa menganalisa dan menjawab nih.  Entah bener apa enggak ya, namanya juga pengamatan sendiri.

Jadi, saya pikir, ini karena jarang banget bos yang mampu mempercayai pendapat bawahannya. Ingat, bukan mempercayai aja, tapi mempercayai PENDAPAT bawahannya. Ini alamiah kok.  Namanya juga bos, merasa lebih berpengalaman, lebih pinter dan juga lebih berkuasa.  Nothing wrong with that.  Nggak ada bos yang sok tau karena, hellooo.. mereka memang lebih tau karena faktor-faktor tadi.  Kalaupun mereka lebih muda dari kita, mungkin secara pengalaman tipis, tapi mereka bakal ada di tempat mereka saat ini karena otak mereka atau uang mereka banyak.  Come on, we can’t stop people from owning their own company even if they’re young, right?

So there is ALWAYS a reason why somebody becomes… boss.

Yang membedakan bos saya yang suka bertanya itu dengan bos-bos lain yang saya temui adalah: ia memberi kepercayaan lebih pada saya, tak sekedar ingiin menguji kemampuan saya namun memelihara dan membimbing ‘pertumbuhan’ saya sebagai karyawan.

Iya, kecurigaan dan kurangnya rasa percaya diri saya ternyata disebabkan oleh bertahun-tahun dididik secara ‘satu arah’ khas Orde Baru di mana si junior pasti salah, jadi ketika bertemu dengan orang-orang yang berkeinginan untuk mendidik dengan ‘seharusnya’, bagai suku primitif yang baru pertama kali ketemu orang luar desanya… saya takut dan mudah curiga.

Ibarat anjing yah, sebelumnya masih di shelter, belom kena tangan Cesar Milan lah gitu.

Nah, bos-bos ala Cesar Milan ini ada banget kok di sekitar kita.  Jadi sebelum komplen dia suka nanya ini itu, terkesan ngasih segala macem ke kita, galak dan nyebelin, coba teliti dulu… bener nggak sih beliau itu emang nyebelin?  Jangan salah ya, bos-bos yang haha-hihi sama anak buahnya nggak selamanya baik.  Baik di sini maksudnya: bisa dan ingin membimbing anak buahnya ‘tumbuh’ menjadi orang yang lebih segala-galanya.  Lebih pandai, lebih kritis, lebih pinter dan juga lebih-lebih yang lain.  Ciri utamanya jelas:

Mereka mendengarkan kita.

Hayo, siapa yang merasa ‘didengarkan’ di sini?  Mungkin pas baca tulisan ini lagi sebel-sebelnya sama bos.  Tapi yuk berpikir lagi, beliau mendengarkan kita nggak sih?  Karena kadang kita terlalu fokus tentang apa yang kita dengar sehingga kita lupa bahwa somewhere, out there, seseorang mendengarkan kita kok.  Mendengarkan adalah sebuah kemampuan yang tak dimiliki semua orang.  Tapi tahu bahwa dirinya DIDENGAR pun butuh kemampuan khusus.

Jadi sekarang saat saya ditanya: “So, Asmara.  Are you happy with it?”  saat mempresentasikan pekerjaan, saya selalu menjawab: “I am, otherwise I won’t show it to you. Or anybody else.”

Dan seiring waktu berjalan, nggak kok.  Nggak kedengaran tolol atau sok tau sama sekali 🙂

 

 

 

The post Tentang Didengarkan appeared first on miund.com.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 10

Latest Images

Trending Articles





Latest Images